يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا (٤١) وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَّأَصِيْلًا (٤٢)
Wahai orang² yg beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS al-Ahzab [33]: 41-42).
لَايَقْعُدُوْنَ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى اِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ تَعَالَى فِيْمَنْ عِنْدَهُ رواه مسلم
Tidaklah duduk dan berkumpul suatu kaum dengan mengingat Allah (berdzikir) kecuali mereka dikepung oleh para malaikat, diliputi rahmat, diberikan ketenangan, dan Allah mengingat siapa saja yg berada di tengah² perkumpulan tersebut.” (HR. Muslim).
Adab Berdzikir
Pada prinsipnya, tujuan berdzikir adalah untuk membersihkan hati dari segala penyakit, melembutkan yg keras, menjernihkan yg kotor, dan menentramkan yg bergejolak. Para ulama telah mengajarkan bagaimana cara berdzikir yg benar lagi efektif. Sebagaimana ibadah² lainnya, dzikir juga memiliki ketentuan² yg harus diperhatikan oleh siapa saja yg hendak berdzikir.
Sayyid Abu Bakr dalam kitab Kifayatul Atqiya menjelaskan bahwa salah satu adab berdzikir adalah tidak minum baik di tengah maupun setelah selesai berdzikir,
وَيَنْبَغِيْ أَنْ لَا يَشْرَبَ الْمَاءَ عَقِبَهُ أَوْ أَثْنَائَهُ لِأَنَّ لِلذِّكْرِ حَرَارَةً تَجْلِبُ الْأَنْوَارَ وَالتَّجَلِيَّاتِ وَالْوَارِدَاتِ وَشُرْبُ الْمَاءِ يُطْفِئُ تِلْكَ الْحَرَارَةَ
Sebaiknya (orang yg berdzikir) tidak minum setelah atau di tengah² berdzikir. Karena sesungguhnya dzikir memiliki panas yg dapat menarik cahaya, manifestasi (kekuasaan) Allah, (petunjuk) yg datang saat itu. Minum air dapat memadamkan panas itu.” (Sayyid Abu Bakr, Kifayatul Atqiya, Indonesia: Darul Ihya, hal. 107).
Bacaan² dzikir yg dibaca dalam ukuran waktu dan hitungan² tertentu diyakini dapat membakar segala kotoran yg menempel pada hati, yaitu hawa nafsu yg selalu mengajak kepada kesesatan. Oleh karenanya ketika hati sedang mengalami panasnya dzikir sebaiknya tidak didinginkan dengan air. Lebih lanjut Sayyid Abu Bakr menjelaskan adab² lain dalam berdzikir, di antaranya; dzikir hendaknya dilakukan dalam keadaan suci, menghadap kiblat, menetralkan hati dari urusan duniawi, menumbuhkan kecintaan kepada Allah, dan memejamkan mata, karena hal ini mempercepat dalam memperoleh cahaya hati. Beliau menambahkan sebaiknya dzikir dilakukan minimal satu jam lamanya, karena yg demikian ini adalah sebaik-baik cara dalam berdzikir.
Hati adalah tempat berpadunya kebaikan dan kejahatan. Oleh karenanya sang pemilik hati harus menyadari kondisi hatinya di setiap waktu. Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam kitab Maraqi al-‘Ubudiyah menjelaskan,
(إِعْلَمْ أن الصفاتِ المذمومةِ في القلب كثيرةٌ) لأن الإنسان إجتمع عليه أربعة أنواع من الأوصاف وهي السبعية والبهمية والشيطانية والربانية وكل ذالك مجموع في القلب
Ketahuilah sesungguhnya dalam hati terdapat banyak sifat tercela. Karena dalam diri manusia terdapat 4 macam sifat, yaitu sabu’iyyah (binatang buas), bahimiyyah (binatang jinak), syaithaniyyah, dan uluhiyyah. Kesemuanya itu terkumpul di dalam hati.” (Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyah, Semarang: Toha Putra, hal, 76).
Pertama, sabu’iyyah (binatang buas). Jika manusia dikuasai oleh sifat tersebut, maka bisa jadi dengan mudahnya ia mencelakai, membunuh dan mengorbankan orang lain demi kepentingannya sendiri.
Kedua, bahimiyyah (kebinatangan/jinak). Manusia yg dikuasai oleh nafsu ini akan cenderung rakus, tamak, dan tidak puas diri. Sifat ini memungkinkan mendorong kepada kejahatan, seperti mencuri, korupsi, menipu, dan sejenisnya.
Ketiga, syaithaniyyah (sifat setan). Setan merupakan makhluk Allah yg kebiasaannya menggoda dan menyesatkan umat manusia. Jika manusia memiliki sifat ini, tentu perbuatannya tidak jauh seperti setan, suka menggoda, dan menyesatkan orang lain.
Keempat, uluhiyyah (sifat ketuhanan). Sifat ketuhanan yg dimaksud adalah otoritas Tuhan yg tidak boleh ditiru oleh makhluk-Nya, seperti sombong, memaksa, berkuasa, dan sebagainya. Dalam hal ini Amin Syukur, dalam bukunya Terapi Hati (2012: 27) membagi dua sifat, yaitu sifat jalaliyyah dan sifat jamaliyyah. Sifat jalaliyyah atau sifat keagungan dan keperkasaannya inilah yg tidak boleh ditiru oleh siapa pun. Adapun sifat yg boleh ditiru adalah sifat jamaliyyah (kelembutan)-Nya, seperti penyayang, pengasih, dermawan, pengampun dan sebagainya.
Kedua, bahimiyyah (kebinatangan/jinak). Manusia yg dikuasai oleh nafsu ini akan cenderung rakus, tamak, dan tidak puas diri. Sifat ini memungkinkan mendorong kepada kejahatan, seperti mencuri, korupsi, menipu, dan sejenisnya.
Ketiga, syaithaniyyah (sifat setan). Setan merupakan makhluk Allah yg kebiasaannya menggoda dan menyesatkan umat manusia. Jika manusia memiliki sifat ini, tentu perbuatannya tidak jauh seperti setan, suka menggoda, dan menyesatkan orang lain.
Keempat, uluhiyyah (sifat ketuhanan). Sifat ketuhanan yg dimaksud adalah otoritas Tuhan yg tidak boleh ditiru oleh makhluk-Nya, seperti sombong, memaksa, berkuasa, dan sebagainya. Dalam hal ini Amin Syukur, dalam bukunya Terapi Hati (2012: 27) membagi dua sifat, yaitu sifat jalaliyyah dan sifat jamaliyyah. Sifat jalaliyyah atau sifat keagungan dan keperkasaannya inilah yg tidak boleh ditiru oleh siapa pun. Adapun sifat yg boleh ditiru adalah sifat jamaliyyah (kelembutan)-Nya, seperti penyayang, pengasih, dermawan, pengampun dan sebagainya.
لَآاِلَهَ اِلَّاالله ~ لَآاِلَهَ اِلَّاالله ~ لَآاِلَهَ اِلَّاالله